Masyarakat Berhak Tahu: LPJ DD dan Musyawarah Pertanggungjawaban
Nagan raya — Di balik senyapnya ruang balai desa yang kerap dikunci rapat selepas jam kerja, tersimpan dokumen penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak: Laporan Pertanggungjawaban Dana Desa (LPJ DD). Dokumen ini, yang seharusnya menjadi milik publik, kerap diperlakukan layaknya rahasia negara. Padahal, sumber dananya berasal dari uang rakyat — dari APBN dan APBD — yang digelontorkan ke desa untuk pembangunan dan kesejahteraan warga.
Namun di banyak desa, termasuk sejumlah kampung di wilayah Subulussalam, praktik transparansi keuangan desa belum sepenuhnya tegak lurus dengan semangat reformasi tata kelola pemerintahan desa. Warga jarang tahu ke mana aliran dana desa mengalir, proyek apa yang dikerjakan, dan siapa saja yang menerima manfaatnya. Bahkan, agenda musyawarah pertanggungjawaban seringkali berlangsung terbatas, dalam ruang sempit yang hanya diisi segelintir perangkat desa dan tokoh tertentu. Undangan musyawarah tidak menyebar ke seluruh warga, atau bahkan tak pernah benar-benar diumumkan.
Kondisi ini bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam regulasi itu, ditegaskan bahwa desa wajib menyelenggarakan pemerintahan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Salah satunya dalam pengelolaan keuangan desa. Laporan pertanggungjawaban atas penggunaan dana desa, baik untuk pembangunan fisik maupun pemberdayaan masyarakat, seharusnya disampaikan secara terbuka, dapat diperiksa, dan dijelaskan kepada warga secara langsung dalam forum musyawarah desa.
Hak masyarakat untuk mengetahui rincian LPJ DD bukanlah permintaan yang berlebihan. Dana desa telah menjadi tulang punggung pembangunan perdesaan sejak satu dekade terakhir. Nilainya yang mencapai ratusan hingga miliaran rupiah setiap tahun, menjadikannya sumber daya strategis yang rawan diselewengkan bila tanpa pengawasan publik. Akses terhadap LPJ dan pelibatan dalam musyawarah adalah pagar moral sekaligus instrumen kontrol yang sah bagi warga desa.
Sayangnya, di lapangan, kesadaran akan pentingnya keterbukaan ini belum sepenuhnya tumbuh. Sebagian kepala desa dan aparatur pemerintahan masih memperlakukan dana desa seperti milik pribadi atau kelompok terbatas. Mereka enggan membuka dokumen, menutup ruang musyawarah, dan menyembunyikan informasi penting dari warga. Transparansi seolah menjadi jargon kosong yang hanya dipakai saat laporan ke kecamatan atau inspektorat.
Padahal, jika LPJ DD dibuka ke publik dan musyawarah dilakukan secara partisipatif, banyak potensi sengketa sosial, ketidakpuasan warga, dan bahkan konflik horizontal dapat dihindari. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan mengevaluasi program desa bukan hanya memperkuat legitimasi pemerintahan desa, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan rasa memiliki terhadap pembangunan.
Pemerintah daerah, lembaga pengawas, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab kolektif untuk mendorong keterbukaan ini. Surat undangan musyawarah seharusnya diumumkan secara terbuka, disebarluaskan ke seluruh warga, dan tidak hanya dibagikan kepada kelompok tertentu. LPJ Dana Desa harus ditempel di papan pengumuman, dibacakan di forum, dan dibagikan dalam bentuk salinan bagi warga yang ingin memeriksanya.
Transparansi bukan pilihan, melainkan kewajiban. Dan di tengah era digital, keterbukaan informasi publik bukan hal yang sulit diterapkan. Jika pemerintahan desa tidak membuka akses informasi, maka publik berhak bertanya: apa yang sedang disembunyikan?
Masyarakat berhak tahu. Karena dana desa adalah uang rakyat. Dan uang rakyat tidak boleh dikella dalam gelap.
(INDRA MAWAN SURBAKTI)